Serba Serbi Tradisi Malleppe’ bagi Masyarakat Bugis

Tradisi Malleppe’ bagi masyarakat Bugis merupakan suatu tradisi sekaligus tuntunan yang disyariahkan Agama Islam dalam menunaikan shalat Iedul Fitri atau Iedul Adha. Kedua ibadah ini dikenal selalu mengikuti ibadah-ibadah ritual besar atau ritual panjang yang dijalankan oleh ummat muslim di dunia yang merupakan ibadah syukuran atas berakhirnya ibadah tersebut. Iedul Fitri sendiri selalu dilakukan setelah melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan yang dirangkaian dengan membayar zakat Fitrah, sedangkan Iedul Adha dilakukan setelah  ibadah haji di tanah suci Mekkah ditunaikan dan dirangkaikan dengan pemotongan hewan qurban.

Iedul Fitri berasal dari kata bahasa Arab, Ied dan Fitrah. Kata ied sendiri berakar dari kata aada-yauudu-iedan yang berarti ‘kembali’ atau ‘pulang’, sedangkan Fitrah berarti ‘bersih’ atau ‘suci’. Sehingga secara keseluruhan Iedul Fitri diartikan sebagai ‘kembali suci’.  Kaum muslimin yang telah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan diberi ijazah dari Allah SWT sebagai manusia yang kembali suci seperti saat baru dilahirkan.



Serba Serbi Tradisi Malleppe’ bagi Masyarakat Bugis


Adapun kata adha dalam Iedul Adha berasal dari kata adhaa-yudhii-udhiyatan yang berarti ‘berkorban’. Iedul Adha kadang juga disebut sebagai Iedul Qurban, kata Qurbaan sendiri berasal dari kata qaruba-yaqrabu-qurbaanan yang berarti ‘mendekat dengan sangat’. Kedua istilah ini memang memiliki arti yang berbeda, namun sama secara substansial.

Masyarakat Bugis mengenal keduanya (Fitri dan Adha) dengan istilah Malleppe’.   Kata Malleppe’sendiri, dalam bahasa Bugis memiliki arti ‘melipat’. Ini memberikan makna bahwa kedua shalat Ied tersebut dijadikan momentum untuk “melipat” lembaran-lembaran lama yang penuh noda yang telah dilakukan selama ini dan membuka lembaran baru untuk dapat diisi dengan hal yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Makna lain dari malleppe’ adalah ‘melepas’, ini dimaksudkan bahwa pada perayaan ini menjadi momen pelepasan semua dosa-dosa dan juga saling melepas (meng-ikhlas-kan) dosa antara sesama.

Dalam bentuk lain, tradisi malleppe’ dikenal oleh sebahagian kecil masyarakat Bugis dengan cara melepaskan dan melarungkan pakaian lama ke laut atau sungai sebagai tanda simbol pelepasan dosa, sial, keburukan masa lalu dan mengganti dengan pakaian yang baru. Tradisi ini adalah tradisi sebelum masuknya Islam.   

Dalam tradisi Bugis, setelah perayaan malleppe’ ini ditunaikan, diikuti dengan tradisi massiara (berziarah) seperti halnya tradisi yang ada di Nusantara. Massiara dilakukan dengan mengunjungi sanak famili dan kerabat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal (massiara kubburu’). Kunjungan silaturrahmi ini dilakukan untuk saling bermaaf-maafan, sedangkan massiara kubburu’ (ziarah kubur) dilakukan untuk mendoakan famili atau keluarga yang sudah meninggal dunia agar senantiasa mendapatkan rahmat dan magfirah Allah SWT .

Dikenal juga suatu tradisi yang dilakukan sebelum atau sesudah kedua perayaan ini adalah tradisi ‘pulang kampung’ bagi masyarakat Bugis yang melakukan  sompe’ (merantau) atau mallekke’ dapureng (hijrah) ke daerah-daerah lain. Tradisi pulang kampung ini merupakan suatu bentuk  ‘panggilan’ alam dan fitrah manusia untuk kembali (ied) kepada kesucian manusia ketika masih dalam rahim ibu (tanah kelahiran) atau disebut juga ‘Ibu Peretiwi’ yang diambil dari nama salah satu To Manurung dalam epos La Galigo.  Peretiwi atau Paratiwi (ibu segala ibu) dikenal juga dengan nama We Nyili’ Timo’ (Penguasa Timur) yang juga menjadi istri Batara Guru atau La Toge’ Langi’ (bertahta di langit).



Pada saat menunaikan ibadah shalat Ied, sudah menjadi tradisi pula bagi masyarakat Bugis Makassar mengenakan busana muslim dengan paduan lipa’ sabbe (sarung sutera). Penggunaan sarung ini dipengaruhi oleh adaptasi budaya dengan anjuran dalam Al Qur’an dan As- Sunnah pada perayaan ini untuk memakai pakaian yang terbaik yang dimiliki. sebagaimana firman Allah SWT:

 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. 7: 31)

Hal ini juga disyarahkan dalam Hadits dari Ja’far bin Muhammad bahwasanya Nabi SAW biasa memakai kain buatan Yaman pada tiap-tiap hari raya. (HR. Baihaqiy juz 3, hal. 280).

Bagi masyarakat Bugis, lipa’ sabbe adalah pakaian yang terbaik yang dimiliki dan merupakan bagian dari busana tradisional Bugis zaman dahulu. Lipa’sabbe tidak hanya dipakai dalam tradisi malleppe’ tapi juga dipakai dalam setiap acara tradisi adat istiadat Bugis seperti perkawinan, menghadiri acara hajatan, dan sebagainya.

Tradisi malleppe’ dirayakan dengan gembira yang diwarnai dengan berbagai sajian masakan khas Bugis Makassar sebagai makanan utama antara lain, burasa’ (beras ketan yang campur dengan santan dibungkus dengan daun pisang yang direbus  waktu selama 7-8 jam lamanya), tumbu’ (merupakan penganan berbentuk silider panjang yang dibuat dari beras ketan hitam dengan dibungkus daun pisang), leppe’-leppe’ (hampir sama dengan tumbu’ hanya saja jenis beras ketan yang digunakan berupa beras ketan putih dan dibungkus dengan daun kelapa). Masakan-masakan khas ini biasanya dimasak dua atau sehari sebelum perayaan hari raya ied melihat lamanya waktu pengerjaannya dan kemudian disajikan bagi santapan keluarga ataupun disuguhkan kepada tamu-tamu yang berziarah.

Lewat tulisan ini, penulis mengucapkan Selamat Iedul Fitri mohon maaf lahir bathin, Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima ibadah kita semua, Amin).

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Serba Serbi Tradisi Malleppe’ bagi Masyarakat Bugis"

Posting Komentar

Saya Ansul, sangat Menghargai Komentar dan saran Anda, Thanks!